Sepakbola dan politik
Sepakbola dan politik. Keduanya memiliki kesamaan dimana sama-sama  memperebutkan tahta. Bedanya politik memiliki legitimasi dalam mencapai  tujuan. Sementara Sepakbola mengedepankan unsur persaingan. Yang terbaik  bukan ditentukan oleh banyaknya suara dan seberapa besar massa yang  mendukung tetapi oleh banyaknya gol ke gawang lawan. Dewasa ini  Sepakbola tidak hanya sekedar banyaknya gol yang tercipta, tetapi juga  permainan indah ala Jogo Bonito maupun Tango.
Politik memang berkaitan erat dengan dunia Sepakbola. Entah, apakah  memang manusia membutuhkan media lain untuk menunjukkan kedaulatannya.  Contoh konkret ketika Italia di Piala Dunia 1934 dan 1938 yang menjadi  kampanyen politik rezim Benito Mussolini. Bahkan sampai memunculkan isu  jika Italia gagal menjadi juara dunia maka nyawa harus dipersiapkan  sebagai tumbal. Nyatanya prestasi dalam dunia sepakbola dianggap lebih  dari sekedar kebanggan suatu negara.
Politik memang merambah dunia sepakbola. Berlusconi semasa menjabat  sebagai perdana menteri sanggup menjadi orang nomor satu di AC Milan.  Prestasinya sangat mengesankan. Beberapa kali AC Milan diantarkan ke  tangga Juara. Mahkota Liga Champions Eropa bahkan pernah direbutnya.
Publik boleh menilai, untuk melapangkan jalan menuju tahta kekuasaan  diperlukan banyak pelicin yang kita sebut sebagai uang. Di Indonesia  kalimat ini boleh kita tambahkan “Untuk menjadi walikota/bupati kita  memerlukan sepakbola sebagai penarik simpati rakyat”. Dengan kata lain  pengertian sepakbola di Indonesia memiliki persepsi sebagai ladang uang,  simpati dan kesuksesan.
Politik ibarat menjalankan sebuah tirani. Ia kuat mencengkeram Bola  Dunia. Artinya di seluruh dunia politik bukan lagi sebuah mata kuliah  yang tercantum dalam kurikulum pendidikan. Politik ibarat authority  untuk mengatur kebijakan hidup umat manusia.
Tidak ada celah tanpa kehadiran politik. Setiap umat manusia membutuhkan  politik untuk menumbuhkan nalar dan daya pikirnya. Bagi sebagian umat  manusia, dengan berpolitik ia bisa melampiaskan nafsunya. Yups, nafsu  kekuasaan dan ingin memerintah adalah anugerah Tuhan YME.
Tidak ada aspek kehidupan yang tidak luput dari jamahan politik.  Sepakbola bagi sebagian manusia dipandang sebagai agama kedua. Ibaratnya  Sepakbola adalah sesuatu yang sifatnya principle.
Lihatlah berapa banyak perputaran uang dalam kompetisi Liga Indonesia.  Jika setiap klub minimal menghabiskan dana 10 Miliar Rupiah, maka untuk  28 Klub yang berlaga di Liga Indonesia 2006 minimal menghabiskan 280  Miliar rupiah. Ironis memang sebagian besar uang tersebut dipungut dari  rakyat, sementara rakyat ketika masuk stadion masih disuruh membeli  tiket.
Indonesia ini memang hobby menjadi orang latah. Ketika yang satu sibuk  menjadi pembina sepakbola di kotanya dan sukses, yang lain segera  mengikutinya. Dana APBD ramai-ramai digerogoti untuk tujuan pembinaan  sepakbola. Walaupun hasilnya nihil dan prestasi tak kunjung diraih.
Yang lebih ironis ketika uang milyardan tersebut tadinya untuk  memperbaiki materi tim. Tapi apa mau dikata ketika tim tersebut kalah  mobilitasnya dalam memburu pemain. Alhasil pemain pas-pasan yang  didapat. Sementara sebagian dana kemungkinan bisa digunakan untuk  bancakan para pengurusnya.
Di sisi lain sepakbola dijadikan ajang menarik simpati rakyat. Menjelang  Pilkada Klub yang dibina salah satu peserta Pilkada disibukkan untuk  meraih kemenangan sebagai alat kampanye. Kemenangan dihargai mahal dan  dijadikan dalih ini adalah berkat usaha Sang peserta Pilkada tersebut.  Nampaknya Pilkada dijadikan sebagai ajang Pilkadal(Pemilihan Para  Kadal).
Sepakbola sepenuhnya melahirkan unsur teknis dan kolektivitas tim dalam  suatu permainan. Sepakbola bukan bergantung dari keikutsertaan para  peserta Pilkada atau politikus yang berkepentingan untuk mengamankan  kekuasaanya. Hanya publik yang bisa menentukan apakah seterusnya ingin  dikadali oleh “Gibol” yang 100% tidak ikhlas mengabdikan dirinya dalam  dunia sepakbola itu.
Sepakbola sebagai pencerminan olahraga yang multidimensi memang  menghadirkan daya tarik yang luar biasa besar. Di Indonesia diperkirakan  lebih dari 10 juta penduduknya adalah mania bola. Dari sekian ini,  tentu ada segelintir orang yang menginginkan potensi yang sedemikian  besar untuk memuluskan tujuannya.
Adam Smith, Martin Luther, Friedrich Engels, Niccolo Macchiavelli dan  sederet nama besar lainnya telah menghadirkan skema politik untuk kita  pelajari. Beberapa tahun kita duduk di bangku sekolah untuk mempelajari  bahwa politik dan kekuasaan tidaklah berbeda jauh. Pada akhirnya kita  dihadapkan pada kenyataan mempertahankan kekuasaan adalah sebuah  prioritas, sementara kemakmuran rakyat bukanlah sebuah tujuan.
Indonesia adalah negara yang berkembang tahap pemikirannya. Mereka masih  mencoba menemukan tentang jatidiri Indonesia sebenarnya. Ataukah memang  jatidiri Bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pancasila dan UUD 1945  itu sudah diketemukan sejak lama namun tidak pernah diterapkan dalam  kehidupan       

 
 
0 Responses to "Sepakbola dan politik"
Leave A Comment :