SURAT TERBUKA UNTUK AREMANIA
SURAT TERBUKA UNTUK AREMANIA
oleh Abdi Purmono pada 30 Januari 2011 jam 1:56
Salam satu jiwa!
Kawan-kawan Aremania sak ndunyo, tolong dibaca dengan baik-baik, teliti,  dan penuh kesabaran agar duduk perkara yang sebenarnya dapat dipahami  dengan berimbang dan adil. Prinsip saya: kita sama-sama belajar dari  masalah ini dengan bijak dan penuh kerendahan hati.
Di Facebook saya menulis identitas saya sebagai orang yang “Masih  belajar membaca, menulis, dan memotret. There’s no angel in the world.”  Saya senang belajar dari siapa pun. Sekitar 30-an tahun lalu, saya tahu  dasar-dasar catur dari anak SD kelas 3. Anak SD ini cucu guru mengaji  saya, juga adik kelas di madrasah ibtidaiyah di Kota Medan. Maaf, jadi  sedikit bernostalgia...
Saya sangat bisa berempati (bukan sekadar bersimpati) terhadap posisi  dan perasaan nawak-nawak Aremania setelah muncul laporan investigasi  majalah TEMPO edisi 24-30 Januari 2011 soal suap di jagat persepakbolaan  kita, dengan sampul berjudul "KORUPSSI, Priiit...! Banyak sandiwara di  lapangan bola."
Tiga kali saya membaca laporan itu agar saya tak salah atau asal-asalan  memahaminya. Setelah membacanya, saya merasa agak malu dan makin  memahami mengapa kemudian Aremania protes, mulai protes halus sampai  kasar (ada yang pakai mengancam segala), mulai dari yang pakai otak  sampai yang asal celometan.
Lima poin sanggahan yang ditulis oleh Mas Teguh R. Handoyo dan  disampaikan ke Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO pada Selasa, 25 Januari  2011, sudah proporsional. Satu poin lagi (tepatnya di poin keenam)  ditulis begini: Kontributor majalah Tempo di Malang (Abdi Purnomo)  sepertinya perlu dipertanyakan kredibilitasnya karena banyaknya  informasi yang tidak akurat dan menggiring opini negatif para pembaca.
Sedangkan isi poin ketujuh: Bapak Pemimpin Redaksi yang terhormat, Arema  tidaklah suci dan sempurna. Namun kami juga tidak seburuk dan sekotor  yang digambarkan dalam tulisan Anda.
Mas Teguh sudah memberikan contoh sangat baik dan berharga tentang  bagaimana seharusnya persoalan pemberitaan diselesaikan dengan cara yang  beradab dan elegan, yakni dengan menggunakan hak jawab dan hak koreksi.
Kedua hak itu diatur dan dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun  1999 tentang Pers. Tepatnya di Pasal 1 (ayat 11, 12, dan 13), Pasal 5  (ayat 2 dan 3), yang mewajibkan pers melayani hak jawab dan hak koreksi.  Kalau kedua hak ini tidak dilayani, maka perusahaan pers dikenakan  pidana denda sebesar Rp 500 juta.
Kewajiban wartawan untuk melayani hak jawab dan hak koreksi itu juga  disebutkan dalam Pasal 11 Kode Etik Jurnalistik: wartawan Indonesia  melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. Proporsional  berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki. 
Insya Allah, majalah TEMPO akan memuat utuh surat Mas Teguh pada edisi  terbaru yang terbit tiap Senin (31 Januari 2011). “Kewajiban Koreksi  adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi,  data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan  oleh pers yang bersangkutan,” demikian bunyi ayat 13 Pasal 1 UU Pers.
Apa yang dilakukan Mas Teguh semoga ditiru Aremania dan komunitas  suporter lainnya jika menghadapi masalah serupa dengan media massa mana  pun. Arema dan Aremania sudah menjadi salah satu ikon dan aset paling  berharga bagi dunia persepakbolaan kita.
Nawak-nawak Aremania, saya bukan penulis laporan itu. Dalam susunan  redaksi Tim Investigasi Suap Sepak Bola, saya bersama 12 rekan  koresponden lain (Palangkaraya, Surabaya, Denpasar, Wamena, Samarinda,  Bandung, Kediri, Yogyakarta, Solo, Bojonegoro, Makassar, dan Jakarta)  hanya tercatat sebagai penyumbang bahan. Ini jelas tertulis di edisi  cetak majalah TEMPO, bukan versi online-nya. Saya ini laksana prajurit  dalam satu regu patroli militer.
Di atas para penyumbang bahan ada penanggung jawab, kepala proyek,  penyunting, dan penulis. Beginilah urutan personel dalam tim dari atas  ke bawah. Tim inilah yang mengolah seluruh bahan (biasa diistilahkan  sebagai bahan belanjaan) dengan menempuh banyak tahap atau prosedur.  Coba bayangkan, untuk satu berita biasa di koran, misalnya, bisa  melewati enam tahapan proses, apalagi untuk laporan panjang. 
Pembaca tinggal membaca tanpa dikenai kewajiban untuk ikut repot dan  peduli memikirkan bagaimana susahnya menggarap sebuah berita.  Sebaliknya, kalau ada berita yang keliru, pembaca justru berhak  mengoreksi atau membantahnya. Cara terbaiknya ya seperti yang  dicontohkan Mas Teguh.
Meski hanya seorang penyumbang bahan, saya sudah bekerja menurut  prosedur dan standar jurnalistik. Dalam waktu dua minggu saya  menghubungi 9 narasumber. Semua narasumber bukan narasumber eceran atau  ecek-ecek. Mereka saya nilai memiliki kredibilitas sesuai dengan  kapasitasnya masing-masing baik sebagai pelaku maupun saksi.
Tidak semua narasumber mau diungkap identitasnya dan saya wajib  melindungi identitas dan keberadaannya sebagaimana diwajibkan dalam  Pasal 7 Kode Etik Jurnalistik. Dan tak semua keterangan dikutip karena  belum tentu relevan dengan tujuan laporan dibuat.
Saya sama sekali tidak menyetor bahan laporan tentang  pertandingan-pertandingan Arema berikut skor akhir pertandingannya,  makanya saya kaget juga Arema disebut mengalahkan Persija Jakarta dengan  skor 2-1. Padahal Arema menang telak 5-1.
Dari 5 poin sanggahan yang dibuat Mas Teguh, hanya soal peran Nirwan  Dermawan Bakrie yang nyambung dengan bahan laporan yang saya kirim ke  redaksi. Kisah peran Nirwan sudah lama saya ketahui langsung dari Mas  Lucky alias Sam Ikul, pendiri Arema.
Saya hafal garis besar cerita pengelolaan Arema dari masa awal berdiri  sampai dibantu Nirwan hingga kisah Arema sekarang. Saya menulis Nirwan  membantu Arema Rp 61 juta. Bantuan diberikan setelah Arema 86 terpaksa  dibubarkan pada pertengahan Juni 1987 karena kehabisan duit. Kemudian  Arema 86 dihidupkan dengan nama baru: Arema.
Setelah uang diterima, Sam Ikul menguatkan status PS Arema dengan  membentuk Yayasan Arema dengan akta notaris Pramu Handoyo No. 58 tanggal  11 Agustus 1987. Tanggal inilah yang sampai sekarang diperingati  sebagai hari ulang tahun Arema
Sam Ikul dapat memenuhi janjinya mampu mendatangkan penonton dalam  jumlah besar untuk ukuran klub baru seperti Arema. Waktu itu Persema  Malang masih memiliki jumlah penonton terbanyak. Karena kinerja Arema  sudah bagus di tahun pertama, Nirwan kemudian menjadi donatur alias  tidak menjadi penyandang dana sepenuhnya.
Nirwan sempat pula meminjamkan gratis Bambang Nurdiansah alias Banur  (kini jadi pelatih Jakarta 1928, klub peserta Liga Primer Indonesia/LPI)  kepada Arema di putaran kedua kompetisi Galatama 1988-1989. Waktu itu  Banur dikenal sebagai raja gol.
Nirwan dan Sam Ikul (dengan PT Putra Arema) juga berkongsi merenovasi  Stadion Gajayana di masa Wali Kota Soesamto (1988-1998). Nirwan membantu  hingga Arema menjadi juara Galatama XII (1992-1993).
Setelah itu manajer Arema berganti-ganti, mulai Haji Mislan, Vigit  Waluyo (anak Haji Mislan), Iwan Budianto, Gandi Yogatama, sampai  kemudian diambilalih PT Bentoel Prima pada Rabu, 29 Januari 2003, di  Hotel Regent’s Park. Skenario pengambilalihan Arema dibahas dan  diputuskan di rumah Bapak Iwan Kurniawan, bos PT Anugerah Citra Abadi di  Jalan Karya Timur 52 (call sign KT-52).
Selama dipegang Bentoel, Arema tak lagi dipusingkan masalah keuangan.  Bentoel mengumumkan pelepasan Arema pada Senin, 3 Agustus 2009, di Hotel  Santika. (Saya bersyukur bisa ikut menghadiri kedua momen bersejarah  Arema itu.)
Arema kembali sempoyongan setelah dilepas Bentoel. Masalah klasik muncul  lagi: gaji pemain dan karyawan telat dibayar. Akibatnya, pemain sempat  mogok latihan. Robert Alberts sempat mengancam mengundurkan diri.
Dalam kondisi genting, Nirwan kembali membantu Arema. Pada Kamis, 14  Oktober 2010, Ketua Yayasan Arema Muhammad Noer memperkenalkan  sponsornya di Ijen Nirwana, perumahan elit milik Grup Bakrie. Noer  mengumumkan Arema mengantongi uang sponsor sekitar Rp 11 miliar, sekitar  Rp 4,5 miliar dari Ijen Nirwana.
Selebihnya berasal dari Bank Saudara Rp 5 miliar, PT Mitra Pinasthika  Mustika (distributor tunggal sepeda motor Honda untuk wilayah Jawa Timur  dan Nusa Tenggara Timur) Rp 800 juta ditambah 17 unit sepeda motor  senilai sekitar Rp 221 juta.
Belum sebulan, pada 1 November manajemen justru mengumumkan defisit  alias tekor Rp 7.136.000.000 (foto saya lampirkan). Pembayaran gaji  pemain untuk tiga bulan (Agustus, November, Desember 2010) pun  tertunda-tunda, sampai akhirnya kapten Pierre Njanka menyatakan hengkang  pada Senin, 10 Januari 2011.
 Dua hari kemudian, tepat sebelum Arema bertanding melawan tuan rumah  PSPS Pekanbaru, manajemen membayarkan gaji untuk bulan November dan  Desember. Dari mana duitnya? Gelap. Beberapa narasumber menyebutkan duit  berasal dari pinjaman Pak Iwan dan bukan sekali ini duit Pak Iwan  dipinjam Arema. Sudah jamak diketahui Pak Iwan seorang dermawan.
Saya pun bertanya pada Pak Iwan dan jawabannya berupa SMS yang saya terima pada Kamis, 20 Januari 2011, pukul 18.46 WIB.
“Kalau soal Arema janganlah, Mas, karena tujuan saya bantu Arema tanpa  pamrih karena setelah mendadak tidak ada sponsor dari Bentoel, Arema  agak kedodoran. Jadi saya punya tanggung jawab moral saja. Lagi pula  Arema merupakan komunitas yang bagus untuk persepakbolaan di Malang dan  Indonesia. Gitu aja ya, Mas. Besok kita sambung lagi karena aku lagi  nemenin tamu. Salam satu jiwa.”
Selama mencari dan mengumpulkan bahan laporan itu pula saya jadi tahu  siapa sebenarnya pemegang saham Arema. Narasumber saya menyebutkan,  setelah dilepas Bentoel, komposisi kepemilikan saham dipegang Yayasan  Arema dan Sam Ikul, dengan jumlah saham 14 lembar.
Sebanyak 13 lembar saham dimiliki Yayasan Arema, dengan pengurus  Muhammad Noer, Moedjiono Moedjito, dan Rendra Kresna. Sisa satu lembar  saham (0,07 persen) diberikan kepada Sam Ikul sebagai penghormatan  kepada sang pendiri Arema.
Nilai tiap saham Rp 1 juta. Jadi, sejak dilepas Bentoel, Arema punya  saham hanya sebesar Rp 14 juta. Dan masih banyak kisah menarik dan  “seram” lainnya, seperti kisah manajemen yang amburadul disertai konflik  di dalamnya.
Bahan laporan yang saya kirim kemudian “dijahit” oleh redaksi, digabung  dengan bahan laporan dari teman-teman saya yang lain. Kisah tentang  Arema dalam laporan itu mirip kompilasi dari berita-berita yang sudah  ada sebelumnya, termasuk dari berita saya untuk Tempo Interaktif dan  Koran Tempo. Sebagian besar informasi dalam laporan sudah diketahui  publik pencinta sepakbola.
Menurut saya, secara keseluruhan, laporan investigasi itu sudah  berimbang karena ada tanggapan dari pihak-pihak yang disebut. Substansi  isunya sudah menggambarkan masalah sangat besar dalam persepakbolaan  kita. Kalau ada narasumber tak mau diungkap identitasnya, itu menjadi  hak narasumber yang wajib dilindungi wartawan.
Saya tidak menggarap bahan laporan berdasarkan ada “pesan sponsor” dari  pihak-pihak tertentu seperti dituduhkan beberapa Aremania kepada saya.  Saya juga menolak jika disebut TEMPO telah beropini dan sengaja  menyudutkan Arema. Tapi untuk hal ini biar redaksi saja yang  menjelaskan.
Yang jelas lagi terbaca oleh saya adalah laporan investigasi itu sama  sekali tidak fokus ke konflik antara PSSI dengan konsorsium Liga Primer  Indonesia.
Bagi saya, LSI dan LPI hanyalah alat untuk memajukan persepakbolaan  Indonesia. Tinggal tergantung siapa operator atau pelaksananya; baik  atau buruk, becus atau goblok, profesional atau tidak profesional.  Silakan publik pencinta sepakbola yang menilai siapa nantinya jadi  operator terbaik.
Sikap dasar saya soal LSI dan LPI itu sudah saya tegaskan kepada  orang-orang LPI dan petinggi PT Liga Indonesia, juga kepada teman-teman  wartawan yang mungkin sengaja menggoda atau memang ingin mengejek saya  sebagai wartawan pro-LPI.
Adalah fakta Koran Tempo menjadi sponsor LPI. Ini hubungannya dengan  kegiatan marketing. Redaksi tak ikut campur. Walau Koran Tempo jadi  sponsor LPI, saya tak pernah dipaksa meliput kegiatan LPI. Begitu pula  dengan LSI. Bagi saya, kehadiran LPI mendatangkan peluang untuk membuat  berita lebih banyak.
“Cukup sekali kutegaskan. Aku bukan wartawan LPI atau wartawan LSI. Aku  wartawan TEMPO. Uang LPI dibelah tujuh pun tak pernah kuterima,” begitu  saya menegaskan kepada beberapa teman wartawan.
Penegasan itu pertama kali saya sampaikan di ruang kerja Panitia  Pelaksana Pertandingan Arema pada Senin, 16 November 2010, atau empat  hari setelah laga amal antara Persema melawan Indo Holland digelar di  Stadion Gajayana.
Saya bekerja untuk TEMPO selama hampir 10 tahun. Sedikit-banyak saya  tahu bagaimana TEMPO menjaga independensinya. Saya kira, tak hanya di  TEMPO, semua media memang harus menjaga otonomi redaksinya, termasuk  harus terbebas dari intervensi pihak marketing.
Aremania silakan tak percaya atau ragu-ragu. Aremania berhak memberi  nilai positif dan negatif. TEMPO bukanlah media yang 100 persen murni  steril dari kelemahan dan kesalahan. TEMPO tidak terlalu suci untuk  diagungkan meski masih memiliki reputasi yang bagus hingga  sekarang—minimal bagi para penggemarnya.
Saya kagum pada TEMPO, tapi saya menolak menjadi pengagum yang buta  karena terlalu fanatik sehingga sulit menerima atau malah tak mau  menerima kelemahan TEMPO. Seingat saya, pendiri TEMPO mengajarkan,  kebenaran bisa datang dari siapa pun dan dari tempat-tempat yang paling  tidak kamu sukai.
Asal nawak-nawak sekalian ketahui juga, gara-gara polemik tentang LSI  dan LPI, hubungan antara beberapa teman wartawan di Malang menjadi  kurang harmonis dan terkesan berkubu-kubu: pro LSI dan pro LPI. Hubungan  tak harmonis ini berdampak cukup buruk pada saya dan banyak teman  wartawan yang ingin tetap bekerja profesional dan menjaga  independensinya. Saya menyebutnya sebagai wartawan “poros tengah”.
Oleh karena itu, wartawan poros tengah berencana mengadakan sebuah  diskusi tentang independensi media dalam liputan sepakbola pada Februari  mendatang. Jadwal pastinya sedang dibahas. Doakan ya semoga rencana  kami lancar.
Saya cukup hafal sejarah Arema dan Aremania dari awal berdiri sampai  sekarang. Hafalan ini tidak hanya saya dapat dari bacaan, tapi juga  cerita dan kesaksian para pelaku, terutama pendiri Arema, serta  kehadiran saya di stadion dan di luar stadion untuk merekam jejak-jejak  Arema dengan segala romantikanya. Sebagian romantika itu saya rekam  dalam foto seperti saya muat di album foto di Facebook yang saya beri  judul “Salam Satu Jiwa!”
Masa kerja saya masih pendek. Sebelum bekerja untuk TEMPO, saya bekerja  untuk majalah PANJI Masyarakat dengan tugas pertama di Aceh dan Medan  (1999-2000), lalu Jakarta. Karir saya di TEMPO dimulai dari Jember, lalu  ke Malang hingga sekarang. Aktivitas lain adalah menjadi Ketua Aliansi  Jurnalis Independen (AJI) Malang dan mengajar di Universitas  Muhammadiyah Malang.
Saya sekolah memang untuk jadi wartawan. Saya sangat paham prinsip dan  standar jurnalistik yang tak boleh dilanggar seorang wartawan.
Saya tidak memaksa, tapi kalau mau adil menilai, silakan lihat arsip-arsip berita saya tentang Arema di www.tempointeraktif.com  dengan nama asli saya ABDI PURMONO atau ABDI PURNOMO (nama kedua ini  keliru) di mesin fasilitas pencarian berita di pojok kanan atas.
Apabila saya dianggap bersalah karena membuat berita bohong sehingga  menimbulkan fitnah atau sengaja merugikan Arema dan Aremania, apalagi  saya dituduh membenci Arema, tentu saya takkan menerima semua ajakan  pertemanan dari banyak Aremania di Facebook.
Hasilnya, saya menerima banyak kritik, protes, cacian, dan ancaman.  Namun semua terima dengan lapang dada dan semampu mungkin saya  menjelaskan masalahnya kepada Aremania yang bertanya. Menyampaikan surat  terbuka ini merupakan bentuk tanggung jawab moral saya kepada Aremania.  
Dan, alhamdulillah, banyak Aremania yang kini menjadi teman setelah  mendapat penjelasan dari saya. Beberapa Aremania memang sudah mengenal  saya secara pribadi jadi lebih mudah memahami sikap dan posisi saya  sekarang ini. Saya percaya, banyak teman mendatangkan banyak kebaikan.
Jika masih banyak Aremania keberatan, silakan protes ke redaksi dan  lapor ke Dewan Pers. Minta Dewan Pers sebagai mediator. Bila perlu  Aremania silakan berunjuk rasa di kantor majalah TEMPO jika TEMPO tak  melayani pemuatan surat dari Mas Teguh.
Saya juga mencintai Arema tapi kita bisa berbeda cara dan gaya dalam  mengekspresikannya; kita boleh tidak saling suka, tapi jangan sampai  saling membenci sehingga kita harus bersikap egoistis dan bersikap  pokoke dengan menolak kebenaran dari orang yang tidak kita suka atau  kita benci.
Saya sangat menghargai dan menaruh hormat terhadap Aremania yang  memberikan tanggapan. Apabila ada hal-hal yang belum memuaskan dan tidak  mengenakkan hati dalam surat terbuka ini, dengan meminta maaf lahir dan  batin setulus-tulusnya.
Matur sembah nuwun untuk kesediaan Aremania membaca dan memahaminya.
Malang, Minggu, 30 Januari 2011 (pukul 01.15 WIB)
SALAM SATU JIWA: AREMA!
Abdi Purmono/Abel                                     

 
 
0 Responses to "SURAT TERBUKA UNTUK AREMANIA"
Leave A Comment :