ISL, LPI, Merger Or No?
Beberapa saat terakhir ini, di social media sedang ramai di bicarakan  pro dan kontra wacana merger antara klub Liga Super Indonesia (LSI/ISL)  dan Liga Primer Indonesia (LPI).  Wacana ini bermula dari pernyataan  Komisaris Persebaya 1927 yang juga salah satu penggagas LPI Saleh  Mukaddar sebagaimana dilansir oleh Tempo Interaktif. Dalam wawancaranya  Saleh Mukaddar menyampaikan ”Pasti (LPI) dihentikan. FIFA melarang ada  dua liga dalam satu negara,” dan sebagai gantinya PSSI segera membentuk  liga baru untuk penggabungan ISL dan LPI. Lebih lanjut saleh  mengungkapkan bahwa  bagi daerah yang telah memiliki klub yang sudah  berbentuk PT, maka penggabungan akan mudah dilakukan. Misalnya Persipura  akan digabung dengan Cendrawasih FC, kemudian Semen Padang dengan Kabau  Padang, Jakarta FC dengan Persija, Batavia Union dengan Persitara,  Persib dengan Bandung FC, dan PSB dengan Bogoraya.
Yang menarik dari wawancara diatas adalah ketika Saleh (disebutkan di  berita) sebagai salah satu penggagas LPI mengatakan bahwa “FIFA melarang  ada dua liga dalam satu negara”. Pernyataan tersebut tentunya menjadi  tanda tanya yang amat besar bagi kita semua, kalau memang beliau  memahami bahwa FIFA melarang ada dua liga dalam satu negara, lantas  dengan pertimbangan apa beliau menggagas liga ketika sudah ada liga yang  berjalan?.
Wacana penggabungan 2 atau beberapa club yang berada dalam satu kota dan  berada dalam liga yang berbeda ini tentunya menarik perdebatan pro dan  kontra. Sebelumnya, team Promosi Persiba Bantul dengan tegas menolak  wacana penggabungan ini sebagaimana dilansir dalam web komunitas  suporternya Paserbumi Online disampaikan melalui Wakil Manager bidang  Operasional, Bagus Nur Edi Wijaya, secara tegas menolak. “Ini masalah  rasa keadilan. Persiba butuh 10 tahun, dari Divisi III untuk bisa masuk  ISL. Belum lagi puluhan Milyar Rupiah dana yang kita habiskan hingga  sekarang,” ujar Bagus, Senin (11/7). Dari sisi keadilan memang jelas  amat timpang. Bagaimana mungkin, tim yang baru kemarin sore berdiri,  ujug-ujug masuk ke kasta tertinggi Sepakbola Indonesia. Seakan tak  sebanding bila mengingat keringat, darah hingga cidera para pemain yang  telah membela skuad Laskar Sultan Agung. Penolakan lain juga disamaikan  oleh komunitas suporter pendukung Sriwijaya FC, yaitu Singamania melalui  akun twitternya @SingaManiaSFC Hrs ada jalan keluar yg terbaik utk  kompetisi di tanah air,wacana merger sangat tidak relevan &  mencederai semangat sportivitas dlm olahraga. Sedangkan komunitas  suporter JakMania pendukung Persija Jakarta melalui akun twitternya  @JakOnline juga dengan tegas melakukan penolakan terhadap wacana merger  ini.
Peraturan Menteri Dalam Negeri (PerMenDagri) No. 1 Tahun 2011 tentang  APBD yang mengatur pelarangan alokasi APBD untuk Club Sepak Bola menjadi  salah satu pertimbangan lain disamping adanya larangan dua liga dalam  satu federasi. Sebelumnya pada tahun 2006 juga sudah dikeluarkan  peraturan sejenis dengan bahasa yang kurang lugas. Artinya bahwa  sosialisasi dari pelarangan dana APBD untuk Club Sepakbola telah  dilakukan sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Sehingga diyakini club juga  sudah melakukan persiapan-persiapan dalam rangka pelaksanaan peraturan  tersebut. Mayoritas club ISL yang memang masih menggunakan dana APBD  sebenarnya perlahan-lahan sudah mulai berkurang. Pada musim kompetisi  2010/2011 club non APBD bertambah satu lagi dengan masuknya Semen Padang  sebagai team promosi. Sementara itu, disamping Arema Indonesia yang  sejak awal berdirinya  tidak pernah menggunakan dana APBD, Persib  Bandung melalui PT. Persib Bandung Bermartabatnya juga sudah melakukan  upaya-upaya untuk lepas dari cengkraman APBD, belum lagi Pelita Jaya  Karawang yang juga alumni Galatama juga sudah sejak lama tidak  menggunakan dana APBD. Artinya, dalam kondisi yang berubah, sebagaimana  makhluk hidup, club akan melakukan berbagai macam penyesuaian dan usaha  untuk tetap survive, sebagaimana teori Charles Darwin yang berlaku untuk  makhluk hidup, pada club pun perilaku dan kebiasaan akan mengalami  perubahan. Terlebih lagi bagi club2 yang memiliki basis suporter kuat  seperti Persija Jakarta, Persiba Bantul yang baru lolos promosi,  Persipura Jayapura, Sriwijaya FC, Semen Padang, dan hampir seluruh club  peserta ISL lainnya.
Suporter adalah stake holder sesungguhnya dalam dunia sepakbola. Dalam  wacana sepakbola Industri, antusiasme suporter adalah kebutuhan yang  mutlak. Lihat saja club2 dari negara industri sepakbola maju seperti  Inggris. Liverpool, Arsenal, Manchester United, dan club2 lainnya dari  Premiere League ketika jeda kompetisi melakukan tour/kunjungan ke  beberapa negara diluar benuanya untuk melakukan kunjungan dan penguatan  basis-basis suporternya yang ada di luar Inggris dan Eropa. Dapat  dimaklumi bahwa dari penjualan hak siar televisi, penjualan merchandise,  club bisa mendapatkan pemasukan yang cukup besar disamping dari  penjualan tiket stadion. Dengan demikian dapat ditarik satu benang biru  bahwa Besarnya dukungan suporter akan berbanding lurus dengan besarnya  potensi bisnis. Perencanaan bisnis yang seksama, strategi penggalian  pos-pos pemasukan melalui berbagi sektor, upaya-upaya untuk menggaet  sponsor dan sumber pemasukan lainnya memang perlu disusun secara cermat  dan sistematis. Namun secermat dan sistematis apapun, hal tersebut  dilakukan,jika tidak memiliki pasar akan percuma saja. Dalam dunia  industri sepakbola, Suporter adalah pasar.
Konsep industrialisasi sepakbola yang ditawarkan oleh LPI memang  menarik, proporsi pembagian saham Liga,  dana sponsorship, hak siar  televisi dan berbagai potensi pemasukan lainnya yang lebih berat kepada  Club memberikan rasa adil bagi masing-masing club, karena bagaimanapun  juga dalam piramida suatu liga, yang mengeluarkan biaya besar adalah  club. Club membutuhkan biaya untuk mengontrak dan menggaji pemain,  operasional pertandingan home dan away, an biaya-biaya lainnya. Oleh  karena itu, proporsi pembagian pemasukan dengan lebih besar kepada club  adalah suatu hal yang menarik. Namun yang patut dipertanyakan adalah  dengan basis massa penonton yang tidak besar seberapa besarkan pemasukan  yang didapatkan? Berbeda dengan ISL yang data penonton langsungnya  selalu terupdate setiap pertandingan, hingga putaran pertama usai,  statistik data penonton masih belum dapat disimak di web resmi LPI .  Namun dari pertandingan disiarkan secara langsung oleh stasiun televisi  Indosiar pada putaran pertama yang lalu, dapat disimak bahwa selain  pertandingan home Persebaya 1927, PSM Makassar, Persibo Bojonegoro dan  Bali Devata dapat disaksikan bahwa rata-rata kurang dari 10% kapasitas  stadion terisi. Bahkan Persema Malang sampai menghadirkan Cheer Leader  untuk memberikan daya tarik tontonan, namun hal tersebut masih belum  mampu mengundang penonton lebih banyak ke Stadion.
Bisnis Sepakbola bukanlah bisnis olah raga, namun bisnis tontonan. Olah  Raga Sepakbola adalah sportifitas, bukan bisnis. Yang dibisniskan adalah  tontonan dan hiburannya. Oleh karena itu, faktor penonton baik yang  datang langsung ke stadion maupun melalui televisi adalah hal yang  sangat penting. Seberapa besar jumlah penonton dan penggemar sebuah club  akan menjadi bahan pertimbangan yang mendasar bagi pihak investor dan  sponsorship untuk bekerjasama, hal ini menjadi hal yang sangat bisa  dimaklumi karena akan terkait dengan seberapa besar branding sponsor  mereka akan terpasarkan. Memberikan investasi ataupun pinjaman kepada  club pun juga akan mempertimbangkan faktor sponsorship. Lihat saja  bagaimana kekhawatiran komunitas Persibo Bojonegoro (Boromania) yang  disampaian dalam tweetnya “@Bor0_Mania Persibo masuk LPI sudah  Profesional? “saya” kira belum. Lepas dari APBD tetapi masih memakai  pinjaman konsorium. ” (Tweet 17 Juli jam sekitar 23.00), menjawab  pertanyaan followernya, lebih lanjut mereka menyatakan “@Boro_Mania  @super26hery Persibo dapat pinjaman kurang lebih 25 M, bagaimana bisa  mengembalikan duit segitu padahal penonton di stadion berkurang.” Dari  hal tersebut dapat disimak bahwa ada kekurangcermatan dalam merencanakan  strategi bisnis dan investasi LPI kepada masing2 club.
Disamping itu, permasalah juga akan dihadapi oleh kubu LPI dan  masing-masing clubnya jika wacana merger direalisasikan. Sebagaimana  disampaikan di awal peluncuran liga bahwa kontrak pemain oleh club  mengacu pada kontrak pemain di negara-negara maju, yaitu dengan  menggunakan kontrak jangka panjang (lebih dari 1 musim). Disamping itu,  putaran penuh kompetisi yang belum rampung tentunya juga masih  meninggalkan kewajiban-kewajiban kepada pihak sponsorship dan stasiun  televisi penyiar yang tentunya sebelumnya juga sudah melakukan kontrak  secara profesional, dan sebagai liga profesional tentunya durasi  kontraknya juga tidak mungkin kurang dari satu musim. Terlebih lagi  kontrak dengan sponsor-sponsor besar seperti Coca Cola, Microsoft, dan  perusahaan kelas dunia lainnya yang bisa dipastikan memiliki jajaran  team legal yang kuat dan berpengalaman, sehingga tidak mungkin asal dan  memiliki celah hukum yang mudah untuk diakali dalam menyusun kontrak.
Besarnya pinjaman keuangan yang diberikan oleh konsorsium LPI kepada  club yang begitu besar juga menimbulkan kekhawatiran tersendiri bahkan  oleh komunitas suporter peserta kompetisi LPI. Hal ini tentunya juga  akan menjadi pertanyaan jika dilakukan merger, apakah pinjaman itu juga  akan turut menjadi kewajiban bersama atau sepeti apa? Jika  profesionalisme dan kemandirian yang dikedepankan, maka tanpa dilakukan  merger, jajaran kepengurusan PSSI Baru yang diisi oleh kalangan  intelektual dan akademisi tentunya memiliki segudang pengalaman untuk  melakukan pelatihan dan transformasi wacana terkait dengan pengelolaan  club berbasis industri kepada masing-masing club, disamping itu juga  dengan melakukan perubahan system kompetisi yang selama ini berlaku di  ISL, melakukan pendampingan dan supervisi kepada masing-masing club  untuk bisa menuju club yang mandiri. Proses edukasi dan advokasi adalah  proses yang biasa direncanakan dan dijalankan oleh akademisi, oleh  karena itu, saya yakin bahwa wacana merger yang merupakan pemikiran yang  dangkal dan kurang mendasar akan menjadi wacana yang tidak akan masu ke  dalam kerangka berfikir para kaum akademisi yang berada di jajaran  pengurus teras PSSI Baru. (lek)

 
 
0 Responses to "ISL, LPI, Merger Or No?"
Leave A Comment :